Selasa, 28 Februari 2012

SERAT DEWA RUCI


Termangu sang bima di tepian samudera
dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya
sesirnanya sang naga nemburnawa
dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
oleh manusia mana pun.
menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
‘apa yang kau cari, hai werkudara,
hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini’
terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
setelah melihat sang penanya ia bergumam:
‘makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?

Senin, 27 Februari 2012

KIDUNG DEWA RUCI

Cerita kisah ajaran Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara ketika masuk ke dasar samudera, memenuhi tugas gurunya dalam mencari air penghidupan (tirtamerta) ditulis pada sekitar abad 19 Masehi, disadur dari bentuk kakawin (berbentuk tembang) oleh pujangga Surakarta (tidak disebutkan namanya).
Serat Dewa Ruci Kidung ini disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa yang sangat halus. Bahasa yang digunakan disesuaikan dengan aliterasi dan asonansi sesuai denga rumus-rumus tembang. Untuk itulah banyak kita temukan bahasa-bahasa yang tidak mudah dipahami karena berasal dari bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuno. Dan meskipun terjemahan ini masih jauh dari sempurna dan memerlukan perbaikan disana-sini, kiranya tetap dapat berguna untuk pelestarian kebudayaan kita, dan selanjutnya mohon koreksi kepada pembaca yang budiman tentang hal terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Sabtu, 25 Februari 2012

wayang11SALOKA 

Bebasan atau Saloka adalah perkataan yang mempunyai arti “pepindhan” atau seperti (bagaikan). 
Contoh :  “Bagaikan pungguk merindukan bulan.”
Aji godhong jati aking (kering)        -  tidak ada nilai/harganya sama sekali
Anggenthong umos (rembes)        -  tidak bisa menyimpan rahasia
Asu rebutan balung            -  berebut barang yang tidak berharga
Asu belang kalung uwang        -  orang yang kelihatannya sederhana tetapi sesungguhnya kaya
Asu gedhe menang kerahe        -  orang yang pangkatnya tinggi tentu lebih besar kekuasaannya
Asu marani gepuk                -  sengaja menyerempet/menghadang bahaya

Jumat, 24 Februari 2012

PEPINDHAN

Abange kaya godong katirah

Godong katirah atau daun katirah berwarna merah. Terjemahan pepindhan itu adalah merahnya seperti daun katirah . Artinya berwarna merah sekali.

Akehe papati kaya babadan pacing
Akehe berasal dari tembung (kata) akeh , yang mendapat panambang (akhiran) –e, yang berarti banyaknya. Pepati berasal dari kata pati , mendapat ater-ater pa- , menjadi papati yang berarti kematian. Kaya berarti seperti, layaknya. Babadan berasal dari tembung babad , yang berarti 1) hikayat, 2) menebang atau memotong pohon. Di sini, babad dalam arti menebang. Kata babad mendapat panambang –an , menjadi babadan , artinya setelah di-babad . Pacing adalah tanaman sejenis glagah, batangnya amat lunak, sehingga mudah ditebang. Akehe papati kaya babadan pacing , berarti banyak orang mati, seperti rimbunan batang glagah yang ditebang.
SANGKALAN MEMET

Dalam Bahasa Jawa, tembung sengkala  berarti 1) kecelakaan, halangan, 2) angka tahun yang dilambangkan dengan kata-kata, atau gambar yang mempunyai makna. Dalam artikel ini,  akan dibahas sengkala dalam arti angka tahun yang dilambangkan dengan kata-kata atau gambar yang mempunyai makna.
Kata sengkalan   ini berasal dari kata saka , dan kala . Saka adalah nama suku (Caka ) dari India yang pernah migrasi ke Jawa, dan kala yang berarti waktu, atau tahun. Jadi saka kala berarti Tahun Saka. Tahun Saka dimulai sejak Raja Saliwahana, Ajisaka, naik tahta, pada tahun 78 Masehi. Tembung saka berubah bunyi menjadi sangka , lalu berubah menjadi sengka. Tembung sengka diikuti tembung kala , menjadi sengkala .
Ada surya sengkala , yaitu sengkalan yang dibuat berdasar kalender surya (solar calendar), misalnya Tahun Masehi. Ada juga candra sengkala   yang dibuat berdasar kalender bulan (lunar calendar ), misalnya kalender Islam Hijriyah atau Kalender Jawa. Sengkalan boleh memakai kalender Masehi, Islam, atau Jawa.
Sengkalan dapat dipakai untuk menandai lahirnya seseorang, berdirinya suatu lembaga, daerah, kota, negara,  atau berdirinya suatu bangunan (istana, kantor, gapura). Bisa juga untuk menandai kematian, berakhir, bubar, atau ditutupnya suatu lembaga. 
Ada sengkalan lamba, miring, memet , dan sastra . Sengkalan lamba mempergunakan kata-kata yang sederhana , misalnya "Buta Lima Naga Siji".   Buta berwatak 5, lima berwatak 5, naga berwatak 8, dan siji berwatak 1, setelah digabung menjadi 5581, lalu dibalik, berarti tahun 1855.

Kamis, 23 Februari 2012

Parwo Dandoko

Episode 1 
Sesaji Aswomedo

Tidak biasanya beliau tinggal di paseban sendirian. Biasanya sang Prabu jengkar mendahului semua pejabat kerajaan. Kini Rekyono Patih, menteri2, nayoko2 projo, dan semua orang sudah meninggalkan balairung. Prabu Dosoroto terhenyak disinggasananya memandang lantai paseban yang gilar2 membentang luas. Matanya menerawang kedepan, melihat alun2 dengan sepasang pohon wringin kurungnya.
Prabu Dosoroto dan Permaisuri Dewi Susalyo atau Dewi Raghu menikah cukup lama tetapi belum juga punya keturunan. Hal ini merisaukan hatinya. Keturunan bukan hanya masalah pribadi tetapi sudah menjadi masalah negara karena pada waktu itu pewaris kerajaan adalah putra Raja. Apalagi Prabu Dosoroto adalah raja kawentar dari negara besar Ayudyo yang kaya raya, subur makmur gemah ripah loh jinawi. Toto titi tentrem dan kertoraharjo. Karena waktu itu belum ada bayi tabung, satu2nya jalan adalah dengan menikah lagi. Raja Ayudyo tidak tanggung2 menikahi 2 garwo ampéan yaitu Dewi Kekayi dan Dewi Sumitro. Namun setelah sekian lama menikah, ketiga istri2 itu tetap juga tidak juga kunjung hamil.

Sabtu, 11 Februari 2012


TEATER BOCAH
Kang agun SMPN 2 Grogol KAB.KEDIRI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. (dalam Sarjidu, 2004: 2).
DASAR-DASAR APRESIASI DRAMA
Kang Agun SMPN 2 Grogol Kabupaten Kediri


BEBERAPA PENGERTIAN

1.      Kalau Anda membuka kamus Webster’s New World Dictionary (1989) Anda akan menjumpai entri atau lena ‘drama’ (hlm. 413) dan theater or theatre (hlm. 1386). Drama diartikan sebagai “a literary composition that tell a story, usually of human conflict, by means of dialogue and action, to be performed by actors”. Atau disalin secara bebas “suatu karangan yang mengisahkan suatu cerita yang mengandung konflik yang disajikan dala bentuk dialog dan laga, dan dipertunjukkan ole para actor di atas pentas”, sedangkan kata theater diartikan sebagai ‘a place where plays, operas, films, etc. are presented”, atau ‘suatu tempat di mana lakon-lakon, opera-opera, film-film, dsb. dipertunjukkan”.
Pengetan Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H
Paguyuban PKK Dusun Selotopeng Desa Banyakan Kecamatan Banyakan Februari 2012




Assalamu alaikum wr.wb.
Dhumateng Ibu Nyai saha Ibu-ibu tamu undangan ingkang dhahat kinormatan...
Dhumateng Ibu-ibu sesamining pendherek PKK Dusun Selotopeng ingkang dipun tresnani Gusti Allah...

Mangga, kanthi ikhlasing penggalih, kita tansah nelakaken agengipun raos syukur, konjuk ngarsa dalem Allah Subhanahu wa Ta’ala, ingkang kanthi sifat Rohman saha Rohim-ipun, maringi pinten-pinten nikmat, rahmat, taufik saha hidayah, utaminipun nikmat ingkang arupi kasarasan, iman saha islam. Pramila mangga, raos syukur kalawau kita lesanaken kanthi waosan, “ Alhamdulillahi robbil alamin...”. Mugi-mugi kita linebetaken dados titah ingkang tansah remen syukur wonten Ngarsanipun, amin ya robbal alamin.

Jumat, 03 Februari 2012

Bulan Emas
Di Jendela Kakek
Karya  H. Adjim Arijadi



INTERIOR RUMAH ANGKER, PERALATAN SERBA ANTIK, SEPASANG MEJA TAMU, SOFA DAN JAM DINDING YANG TERSANDAR DISUDUT RUANGAN.

DALAM RUANGAN SUDAH ADA BADRUN, LELAKI KASAR DAN RUSMAN YANG SEDIKIT INTELEK.

BADRUN
Rusman, sudah saatya kita membunuh kakek.

RUSMAN
Kakek dengan hartanya itu, bila dia mati pasti disiksa oleh ular-ular berbisa. Tapi bagaimana dengan Abdulah?
FRAGMEN CINTA
RUMI- RABIA
Karya : Javed Paul Syatha

Segmen /1/

Di sini, baik cahaya maupun bayang-bayang adalah tarian cinta. Cinta tak bersebab; ialah pengukur ketinggian rahasia sepasang kekasih; seperti puisi cinta yang tak mengenal waktu, dimana kesuatu tempat yang tak terlukiskan. Sampai-sampai setiap saat menjadi penuh kemegahan oleh cahaya cinta.

Tapi tubuh siapa gemulai dalam daun cahaya dalam terang warna bunga-bunga dengan gairah yang memancar dari segala sudut cahaya; mengelilingi dengan tarian seonggok batin yang beku terbelenggu yang fana.



ANDHE-ANDHE LUMUT
Karya NN


PANGGUNG KOSONG TERLIHAT DEKORASI DENGAN NUANSA PEDESAAN. TERDENGAR MUSIK GENDING JAWA. MBOK MENAH MASUK DENGAN MEMBAWA TAMPAH BERISI BERAS, KEMUDIAN MEMPERKENALKAN DIRI KEPADA PENONTON.

MBOK MENAH
Para penonton, perkenalkan nama saya Mbok Menah. Saya ini, simboknya para klenting. Perlu saudara-saudara ketahui bahwa saya sangat bangga mempunyai anak yang cantik-cantik, pinter-pinter, sehat-sehat, berbakti pada orang tua, penurut lagi. Pokoknya tidak ada yang menandingi mereka di seluruh desa ini. Sudah banyak para pemuda desa yang melamar mereka. Eh, sudah ya penonton, saya permisi mau masak dulu. Soalnya anak-anak saya belum sarapan.

Kamis, 02 Februari 2012

Cerita Bahasa Jawa : Misteri Gunung Bromo
  dongengan
 “Misteri gunung bromo “
Jaman biyen nalika Dewa-Dewa esih seneng mudun marang dunia saka kayangan, nalika kui kerajaan Majapait lagi kena serangan saka daerah-daerah. Wargane pada bingung golet panggonan kanggo ngungsi, pada wae karo para Dewa. Wektu kui Dewa mulai lunga marang sawijining panggonan, nang sekitare Gunung Bromo.
 PRANATACARA
“ PAHARGYAN MANTU “

Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb,

Dhumateng panjenenganipun para pepundhen, para sesepuh pinisepuh ingkang hanggung mastuti dhumateng pepoyaning kautaman ingkang pantes pinundhi, para pangemban pangembating praja satriyaning negari minangka pandam pandoming para kawula dasih ingkang sinuba ing pakurmatan, para sarjana, para sujana sujananing budi ingkang sampun wenang hanampi wahyuning kasutapan ingkang satuhu bagya mulya, nun inggih brayat ageng baraya wira wiyata, baraya wira tamtama, para puma karya labet praja ingkang mahambeg luhuring darma, para alim, para ulama ingkang rinten dalu tansah sumandhing kitab suci wahyuning Ilahi minangka panuntun keblating panembah ingkang satuhu luhuring budi, panjenenganipun para satya wredha, carana madya, para tamu kakung sumawana putri ingkang pantes nampi pakurmatan satuhu pantes lamunta sinudarsana.

BUDAYA JAWA
“ REPRENTASI LAKU ORANG JAWA ”

Oleh : KARSONO H SAPUTRA
Pengajar tetap pada Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Dari : Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara) Vol. 01 No.1 Tahun 2010 Perpustakaan Nasional 2010

Pengantar

Ada dua kemungkinan besar suatu teks (sastra) diciptakan atau ditulis. Kemungkinan pertama, suatu teks ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat sehingga teks tersebut kemudian menjadi sarana pengingat, baik bagi penulisnya maupun bagi masyarakat sebagai ingatan kolektif.

 
CRITA WAYANG ( 4 )
RAMA PARASU
“ NALIKA RAMAPAEASU KAPANGGIH KANG SINEDYA ”

Saka ing pawarta kang binandhung ing karna, akeh pawongan kang nyebutake kalamun Sang Harjuna Sasrabahu jengkar saka praja, ngrabasa prang marang Negara Alengka Diraja amung katindakake pribadi. Saweneh pawarta nyebutake lamun Sang Prabu tedhak cangkrama ngupadi ing ngendi dununging putri kang kena kinarya liru wujuding Dewi Citrawati kang wus surut ing kasidan jati.
Dene para pandita kang tinakonan dening Sang Ramaparasu nanjihake, menawa Sang Prabu wus tan kersa andedawa nyecep memanising jagat, mula Sang Prabu mahas ing asamun madeg pandhita. Nanging tumraping Para Pujangga lan Para Satriya, ora saruju marang pinemu kang mangkana. Pinemune, Sang Prabu tindak ngupadi ing ngendi papan dununge kembang jagad kang kena kinarya liru wujuding Gusti Ratu Citrawati.
Karana pawarta kang kaprungu tan ana kang gumathok, mula pepuntoning tekad, Sang Rama Parasu nedya ngupadi dhewe ing ngendi papan lan paran dununge Prabu Harjuna Sasrabahu. Sakupenging negara kang wewatesan marang Negara Maespati wus kemput kinubengan. Nanging tan kapanggih apa kang sinedya. Wusanane Sang Ramaparasu nyabrang wana gung nedya kundur mring pertapane ingkang rama, nedya ngangin-angin pawartane ing ngendi sayekti Prabu Harjuna Sasrabahu dedunung. Lamun wus pinasthi ing mengko, Rama Parasu bakal anyusul marang paran kang gumathok.
Nanging ing tengahing marga, sedyane kang sakawit nulya kajabel. Jroning driya ana rasa panulak, lamun kondura marang pertapan, ing kana malah saya kandel wewayangan peteng kang nglelimput. Wewayangan sedaning kanjeng ramanira, crita dhuhkita kang matumpa-tumpa tumiba marang kang ibu lan para kadange, bakal bali lumayang ing telenging pangangen-angen. Meksa Sang Rama Parasu jumangkah separan-paran amung ngetutake tindaking suku lan kedheping netrane.
Mangkana wus ndungkap tri ari nggenira Sang Rama Parasu jumangkah anginjeng tanpa sotya, greget osiking pikir nutuh jroning pangangen-angen.
“Salawase ingsun durung nate wruh citra wewujudane Prabu Harjuna Sasrabahu. Kepriye anggonku ngawruhi sapa kang aran Prabu Harjuna Sasrabahu? Apamaneh Sang Prabu Harjuna Sasra anggone tindak jengkar saka praja kanthi tindak sesingidan. Kuwi padha kalawan tindak kang ora kersa kawuningan dening sak sapaa …..”
Dangu Sang Rama Bargawa tan ana mosik, kang ana jroning cipta amung angesthi marang paran dununge pawongan kang sinedya. Jenggirat nyat Sang Rama Parasu tumuju marang puntoning pamikir.
“Ya ! ing kene papan dununge! Menawa Sang Prabu Harjuna Sasrabahu tetela panjalmaning Bathara Wisnu. Mesthine tan bakal bucik kulite menawa kataman wadung lan panahku Bargawastra!
Saka pamikir kang wus gumathok, sigra cinandhak sinandhangan panah lan wadung kang duk nalika samana wus mbrastha para satriya kang cacahe bebasan tanpa wilangan. Sapa ngerti lamun ana sawijining satriya kang kuwawa nadhahi kemandene panah lan wadung kang tetela wus gubras ludira saka pangamuke duk nalilka samana. Kacarita, ingambalan Sang Rama Bargawa ngamuk punggung. Dwidasa, tegese rongpuluh cacahing satriya kang tumekaning tiwas jroning catur ari.
Kocap, nalika samana nuju Sang Rama Bargawa sumendhe ing kekayon saka lungkrahing sarira, keprungu ana kumreseking pang gapuk kang kapidak, karya kagyating tyas Sang Rama Parasu. Gya menyat saka palungguhan, mrepegi ing ngendi papan pawongan kang kumawani akarya osik .
Saksana Sang Bargawa ngematake sakupenge, tan sisip paningale Sang Bargawa lamun ana satriya kang dumunung ing sakupenge katitik ana pang kang kaprapal dening warastra lan ana tabet jangkahing manungsa.
Sangsaya katarik jangkahira tumuju marang tabeting jejangkah, sanalika katon ana satriya kang menthang gendewa. Titi patitis olahing warastra satriya kang katon, tan ana sawiji kang karya rangu, menawa satriya kuwi dudu darajate wong aceplik. Sakala Rama Bargawa ngadhang dedalan kanthi ulat kang wengis.
Kagyat gora wekasan raja sinatriya kang tetela iku Prabu Harjuna Sasrabahu. Sang Prabu kang jengkar saka praja wus andungkap sawatara candra tanpa ana kang sinedya. Gempung lan puteking nala tan prabeda kaya dene kang sinandhang dening Sang Rama Parasu.
Nyata Sang Harjuna Sasrabahu tan prabeda sedyane kalawan Sang Rama Parasu, kang nedya angulati ing ngendi papan dununge pawongan kang dadi panuksmaning Bathara Wisnu. Sang Prabu uga wus ana puntoning galih, lamun ing ngendi ana pawongan kang keduga nadhahi Senjata Cakra, ya kuwi pawongan kang dadi titising jati Bathara Wisnu.
Jalma kang darbe tunggal karep, saksana wus ayun ayunan!
####
Kacarita, mesem jroning wardaya Prabu Harjuna Sasrabahu natkala ingadhang dening pawongan kang pangawak sarwa sembada. Jroning driya tan samar lamun wus kapanggya kang sinedya.
“Heh sapa sira kang wani ngadhang lakuku?!” mangkana amuwus Sang Prabu “Iblis, menungsa apa wewujudaning Dewa?”
Sang Rama Parasu tan bangkit anjejawab, amung eseming lathi saka bungahing nala. Sakala kekarone padha dene angulati sarwa mesem.
“Mesthine sira wujuding jalma manungsa, katitik sira ora ilang kenedhepake!” wusana Rama Parasu angunandika.
“Mesthine sira uga sabangsaning manungsa, katitik ana wewayanganmu kang cumithak ing bantala!” Sang Prabu muwus tan kena ingasorake.
“ Bagus! Nyata lamun kita darbe pamawas kang ora geseh!”
“Ora luput pamuwusmu!”
“Yoh, kita rerembugan kaya dene patraping satriya, aja kaya patrape brahmana kang andum wewarah. Tumuli sajarwaa, sapa sejatine jeneng sira?” mangkana sereng sora amuwus Rama Bargawa.
“Sapa jenengmu heh jalma wanan!?  Kalamun tak umpamane ingsun iki pawongan kang mardhika, iki papan dunungku. Mula sira kang luwih dhisik sajarwa sapa aranmu, kaya kalumrah patrape tetamu teka ing papan panggonanku!” Mangkana Prabu Harjuna Sasrabahu lumuh ingasorake.
“Iya, yen kowe lumuh ingasorake, mara tilingana. Asalku saka pertapan satengahing wana gung. Ingsun putra Resi Jamadagni kang wuragil. Jenengku Rama Parasu. Apa sira durung nate wanuh marang kang awujud Rama Parasu ya Rama Bargawa?”
Sakala kagyat Prabu Harjuna  Sasrabahu. Tan ana pangira sawiji wiji dene samangke wus ayun-ayunan kalawan kang aran Rama Parasu. Pawongan kang wus kentar tandange wiwit saka mangsa kalane isih timur. Nalika maksih dadi pangeran pati. Sakala sigra Prabu Harjuna Sasrabahu lilih patrape, gya ingacaran lungguh Sang Rama Bargawa ing oyoting kekayon. Mangkana pangandikane aris.
“Ooh . . . apuranen jeneng ingsun! Tan ana ngira dene jengandika Sang Satriya Pinandhita kang wus kawentar ing jagat. Nama jengandika wus kasusra dadi sawijining dedongengan kang tuhu anggegirisi, keprungu wiwit saka mangsakala aku isih awujud bocah. Ora ngira lamun Dewa kepareng darbe kersa nepungake lawan jengandika Sang Rama Bargawa kang kasusra ing salumahing bhumi sakureping langit!”
“Yen saiki wus ngerti sapa sejatine aku, saiki sajarwaa sapa sejatine sira iku?” Maksih kanti ati kang kabranang, mangkana pangandikane Rama Bargawa.
“Jengandika bakal kuciwa lamun mengerteni sapa sejatine ingsun. Aku Harjuna Sasrabahu tilas raja ing Maespati”
Sakala geter Sang Rama Bargawa. Bungahing nala kaya dene kebrugan wukir sari. Jroning cipta kaya alunjak-lunjak dene wus kapanggih kang den upadi. Nanging meksa maksih ana sesa cubriya, iya yen iki bener kang ingaran Prabu Harjuna Sasrabahu. Sakala kabranang sarwa amuwus, Rama Bargawa.
“Heh pawongan kang ngaku Prabu Harjuna Sasrabahu raja kang gung binathara. Raja kang wus kasusra dadi panjalmaning Bathara Wisnu. Aja sira nindakake pakarti cidra. Aku lumuh lamun ingapusan, sanajan ta dening anaking dewa Yama aku ora rila!!”.
“Aku sajarwa apa anane. Lamun andika nate midhanget ceciri ing saranduning awakku, mesthi aku kadunungan. Lamun andika sumurup marang apa kang dadi piyandel kang awujud senjata Cakra, aku bakal anudhuhake. Ingsun uga lebda angudhar carita sakabehing bab kang ana gegayutane marang prajaku,  kawulaku, garwa prameswariku uga pepatihku kang sudibya ing pupuh. Nanging ana bab kang ora sarju marang pangandikane jengandika. Dene jengandika anyebut  menawa ingsun kasebut panjalmaning Bathara Wisnu!?”
“Ingsun nate krungu pawarta, manawa sira nate ngrabasa prang lumurug lumawan Raja ing Alengka, Prabu Rahwana Raja. Mara critanana supaya ingsun percaya marang sejatine sira kang ngaku Prabu Harjuna Sasrabahu!”.
“Yoh Sang Satriya Pinandhita, aku bakal minangkani pamundhutmu supaya lega lan percaya marang jati dhiri jenengingsun”
Ramaparasu saksana tumungkul ngreka pitakonan kang bakal katujokake marang satriya ing ngarsanira. Mangkana pangandikane sawusnya tidhem sawetara.
“Sapa pepatih ing negara Maespati, lan turun sapa?”
“Patihku aran Bambang Sumantri ya Patih Swanda. Dene kang ramane aran Resi Swandagni” cukat Prabu Harjuna Sasrabahu jejawab kanthi esem kang kumambang ing lathi. Nuli Prabu Harjuna Sasrabahu anerusake.
“Resi Suwandagni kagungan putra loro cacahe. Kang waruju aran Sumantri dene kang wuragil aran Sukrasana. Wewujudan sakarone kaya dene bumi lan langit sakumpamane. Sumantri darbe wewujudan pekik kang warna sarwa sembada. Prawira sekti mandraguna lan darbe senjata dibya kang ingaran Cakrabaswara. Nanging rayine kang aran Sukrasana, wewujudane cebol kepati kang wujud praupane kaya dene raseksa. Nanging Sukrasana sinung ati kang banget mulya.
Miyak kang padha mara seba kang ingaran Bambang Sumatri nalika samana nuju ingsun nggelar parepatan.  Lekase Sumantri arsa suwita marang jenengingsun. Patrape repepeh-repepeh lampah dhadhap anorraga kaya sata matarangan bocah mudha kang abebusana sarwa prasaja kuwi. Ewa samana, prasaja busananing sang apekik, malah saya angetingalake bregasing sarira. Senajanta ingsun durung wanuh lan durung andangu kang nembe prapta, nanging jroning driya, ingsun wus krasa matrenyuh kaduk tresna. Mula sigra gupuh ingacaran praptane nonoman bagus jatmika kang satindak tanduke datan angilangi ing tata susila. Marak sebane Bambang Sumantri, bebasan kaya adoh ingawe, senajanta wus kepara cerak kaya anggung rinaketake.
Mesem jroning atiku saka mulat citrane kang nembe prapta kang tetela sumunar anglais tejane. Kanthi ririh ingsun tetanya marang bocah mudha kuwi  “Heh bocah bagus kang nembe prapta. Aja sira nganggep ingsun tumambuh, awit katemben iki ingsun nyumurupi ing sira. Saka ngendi sira lan apa mungguh wigatine dene kumawani marak seba ana ing ngarsaku”
“Sinuwun, kula wingking saking pertapan Jatisarana, atmaja Sang Resi Swandagni, nami kula Bambang Sumantri. Sewu lepat dene kula kumawantun sumalonong sowan ing ngarsanipun ingkang sinuwun. Mugi wontena suka lilaning panggalih ,waleh-waleh menapa, sotaning manah kula badhe suwita, ngenger-ngiyup ing ngandhaping  pepada paduka sinuwun. Senajanta kadadosna pekathik pangariting suket-pangeroking kudha, sukur bage lamun kula katampi dados tamtamaning praja”. Sarwi tumungkul amarikelu, Bambang Sumantri umatur patitis jangkep trapsilane.
“Sumantri, purwa madya wasana wus mboya karempit aturira. Nanging kawruhana, para pamagangan kuwi kudu kawuningan luwih dhisik dening patih wasesaning praja yaiku Patih Surata. Borong kawicaksanan tak pasrahake marang sira, Patih Surata”. Tumuli ingsun paring aba marang Patih Surata, pepatih kang wus kepara yuswa, supaya murba marang Bambang Smantri,
Sepi samun nalika tilas Nata ing Maespati, Prabu Harjuna Sasrabahu, kandheg nggenya medhar carita. Nanging sawusnya sawatara maspadhaake marang ulate Sang Rama Parasu, Prabu Harjuna Sasra tumuli tetanya marang Satriya Pinandhita kang maksih anjenggereng ing ayunan.
“Sang Rama Parasu, apa jengandika maksih kersa utawa nora bosen midhangetake critaku kang dawa iki?” Sang Prabu Harjuna Sasrabahu tetanya marang Rama Parasu.
“Tumuli bacutana, ora-orane aku bosen ngrungoke critamu kang gawe sengseming atiku.”. Anjejawab saruju Rama Parasu.
“Sekethi jumurung dene jengandika nora kabotan. Mengkene bacuting critaku”.
Nuli crita kabacutake. Nalika samana Patih Surata maringi katrangan bab repoting Praja Maespati marang Bambang Sumantri.
“Ngger Bambang Sumantri, Awit saka keparenge gusti ratumu Prabu Harjunasasra. Aku kang tinanggenah ngrampungi perkara. Ala lamun mbalekake wong kang arsa suwita ing ratu lan tulus lahir batin duwe karep utama angayahi pakaryaning praja. Sumantri, wajibe kang arsa suwita ing ratu, sira datan kena minggrang-minggring nggonira angayahi wajib nyangkul jejibahan, sira kudu manut setya tuhu miturut sapakon. Sira aja angresula menawa kajibah ing pakaryan kang abot, sabab pangresula kuwi surasane amung lumuh ingaran luput. Sira uga aja tumindak cilik anduwa, gedhene andhaga marang titahing nalendra. Lamun sira tumindak kang mangkana, bakal gedhe pidananing ratu tumrap marang sira” Sareh Patih Surata amijangake.
“Nuwun inggih gusti Patih. Sedaya atur paduka Gusti Patih, samendhang mboten wonten ingkang karempit. Sampun kula tampi jangkep lan sedaya pangandika Paduka Gusti Patih kula pundhi”
“Mangertiya Sumantri, ora sethithik cacahing nomnoman kang wus nembung nyuwun suwita ing raja. Nanging Ingkang Sinuwun durung ana wanci kanggo nampa kabeh suwitane, amarga ing dina kiwari iki, Praja Maespati kaya dene ketaman grahana surya. Petenging penggalih Prabu Harjuna Sasrabahu ora gampang dipadhangake, senajana ta dening Dewa angejawantah bebasane”.
“Menapa Paduka Gusti Patih suka paring katrangan menapa ingkang dados sungkawaning penggalih. Sandeyaning manah kawula, menawi saged katampi pangengeran kula, keparenga kula ambiyantu caos pepadhang, angentheng-enthengi bot repot ingkang kasandhang dening Gusti Prabu Harjuna Sasrabahu”. Mangkana Bambang Sumantri sumambung atur.
“Sumantri, kalamun sira mengko ditampik, sira aja ngresula, nanging umpama ditampa, sira aja kaladuk gambira. Sabab purba ana ing tanganku nanging wasesa dumunung ing astane Sang Prabu Harjunasasra. Surya kang ketaman grahana ing Maespati bakal bali sumilak padhang, yenta ana sawijining pawongan kang sembada ngilangake tri prakara kang kasandhang ing Negara Maespati. Kawruhana angger Sumantri, dina iki keh para kawula ing Maespati lagya nandang kasangsayan. Sabab lemah sawah lan pategalan tan ana kang bisa tinanduran. Lemah kang samau loh, saiki dadi cengkar, nela. Sabanjure dadi papan pandhelikane ama lan kewan gegremetan kang mawa wisa. Tanem tuwuh tetanduran gogrog tumuli pusa. Senanjanta tlaga kang samau tirtane megung, ing wektu saiki sasat asat, tan ana sesa senanjanta amung sajembaring godhong waru. Kaping pindhone, wasitaning Jawata kang dumeling ing talingane gustimu Sri Harjuna Sasrabahu, negara bakal pulih kaya wingi uni, lamun Gustimu Prabu wus keduga amboyongi Putri ing Magada, Dewi Citrawati” sawetara Patih Surata pedhot aturira sarwi anyawang ulate Bambang Sumantri. Kang ingulatan hamung tumungkul amarikelu, yayah konjem ing bantala wadanane.
“Nanging uga sira mesthi sumurup, ing dina saiki Negara Magada wus kinepung dening raja sewu negara, kang darbe karep kang padha, yakuwi ngayunake Sang Raja Putri”.
Patih Surata mungkasi wewarah marang Bambang Sumantri. Katon Patih Surata unjal kang huswa sarwa anyawang guwayane Bambang Sumantri. Kang kasawang tanggap ing sasmita kalamun wus paripurna pangandikane Sang Apatih.
Saksana Bambang Sumantri matur kanthi patrap kang kaladuk cumanthaka, “Nuwun Gusti Patih lan Sinuwun Prabu Harjuna Sasrabahu, kalilanana kula sumalonong mboten pinarentah anyagahi angentas perkawis ingkang sampun Gusti Patih angandika-aken. Ingkang sepisan, keng abdi suka pambiyantu bab bot repoting kawula negari Maespati. Kaping kalih kula sagah ngwangsulaken para nalendra ingkang sampun tunggal kersa ngalap dewi Citrawati, angepung Nagari Magada. Kaping tiga kula angajap, sageda waluya katemahan jati, pepeteng ingkang ngalimput nagari Maespati, menawi kula saged mboyong sekaring kedhaton negari Magada, ingaturan dhumateng jengandika gusti kula Prabu Harjuna Sasrabahu. Andungkap titi wanci menika, keparenga ingkang abdi jumangkah nuju ing Nagari Magada. Nrenggalangi mengsah, amunah kasektenipun para nalendra sewu nagari. Perkawis menika sampun ta kagalih awrat. Keparenga Gusti Prabu lerem wontening praja kewala. Mboten sisah Paduka jengkar saking praja ngrabasa prang nrenggalangi para nalendra sewu negari. Inggih ta lamun mangke paduka saged unggul ing ngayuda”.
Cuwa rasaku, tyasku kebranang kaya dene kinilanan pranajaku. Ana swara kaya dene geguntur jumlegur ing akasa kapireng saka pungkasaning ature Bambang Sumantri kang kaduk wani kurang duga prayoga. Ingsun gya menyat saka dhampar, lon lonan ingsun jumangkah ngungkurake Bambang Sumantri. Sarwi sugal pangandikaku marang Patih Surata anyemoni tingkah pakartine Sumantri kang kasurung rasa kamudhan kang kebak ing piyangkuh;

Dongeng punika, kapethik mentah saking Bahasa Indonesia, kaolah mawi bumbu sarwa Jawi, saking kitab Ramayana, anggitanipun Herman Pratikto. Nuwun sewu Ki Narta, bumbu Jawi panjenengan kathah ingkang kula angge panyedhep raos)


 
CRITA WAYANG ( 3 )
RAMA PARASU
“ Kang LALI PURWA DUKSINA ”
“Kakang Patih Surata, rumangsa ribet rasaning atiku lan sepet paningalku yenta nyawang wujude Bambang Sumantri kang kaduk piangkuh. Yenta nyata kesaguhane bisa ngentasi gawe kaya kang ingsun kersaake, bakal gedhe ganjarane. Nanging  yenta luput kaya kang disaguhake, bumi Maespati aja nganti kaambah dening wujude manungsa kang aran Bambang Sumantri. Sadurunge mangkat marang Negara Magada, busanane Sumantri kang ngenek eneki kuwi, salinana cara kaprajurtian. Ujubing atiku ora arep ambebagus marang wujude Bambang Sumantri, nanging kanggo rumeksa kuluhuraning jenengingsun. Negara Maespati aja nganti asor darajate, darbe caraka kang busanane ora mingsra”. Mangkana dhawuhku marang Patih Surata mungkasi anggonku anggelar pasewakan.


Kacarita tandhing tyasa ing antarane Patih Suwanda lawan Parabu Dasamuka dedreg umyeg anggenirisi. Senajanta dedeging sarirane Patih Suwanda kang prasasat gedhene amung sakpupuning Prabu Dasamuka ya Sang Rahwana Raja, nanging tetela lamun Patih Suwanda saguh anrenggalangi krodane Prabu Dasamuka kang tandange liwung kaya pangamuking singa barong. Patih Suwanda kang putus ing saliring agal lembat senajana mangkana, nanging bawane eling marang pangandikane kang rayi, Bambang Sukasarana, meksa ana rasa kang anggelayut ing telenging ati. Rasa kang aweh sasmita menawa ing kene wus tiba wahyaning mangsa kala, lamun kudu tumuli kumpul bareng kang rayi, munggah ing swargaloka.




CRITA WAYANG ( 1 )
RAMA PARASU MUKSWA

Kocap kacarita, Sang Rama Parasu paripaksa ngambali angupadi ing ngendi dununging Bathara Wisnu. Nanging samangke dalan kang bakal kaambah wus katon nglegewa tan ana padhas curi kang  rumpil. Amarga wus ana titikan manawa sejatine, kang den ulari wus gumathok parane. Bathara Wisnu sejatine wus nyarira marang satriya saka ing Ngayodya, kang aran Raden Rama ya Raden Regawa.

Rabu, 01 Februari 2012

CERKAK ( 40 )
MBULANE KETUTUPAN SLENDHANG

Nyedhaki pungkasaning tahun wolung puluh lima. Aku nyulihi praktek kancaku nang Sekarsuli, Piyungan ing tlatah Yogya. Sing praktek nang kono Dr. Bisma. Deweke kudu giliran jaga nang rumah sakit pendhak dina Jemuwah.
Wayahe wis lingsir wengi, nalika pasien pungkasan metu seka kamar praktek. Kliwat jam sanga. Prasasat tanpa kendat ggonku mriksa pasien wiwit jam setengah lima sore mau. Embuh ana pira  cacahe. Luwih seka telung puluh wong, kakung putri, tuwa enom, diwasa lan anak. Sokur kabeh apik, ora ana sing lara gawat.

mbulane-ketutup-slendhang-1Bubar mriksa pasien pungkasan, lagi krasa kesele. Awak lungkrah lan jimpe kabeh. Pengin cepet mulih. Mau wis janji karo sisihanku jeng Lina nek arep mulih gasik. Pengin jajan bakmi nang  Gerjen, Suranatan. Bakmine pak Panut. Wis kulina wiwit isih kuliah nang Ngasem ndisik. Sumilire angin wengi, nrabas jendela, krasa mak nyes  adhem, marahi mrinding nang kulit. Kahanan sepi mamring.
Lamat lamat krungu  gunemane wong  sing lagi  jaga nang gerdu, jejer omah. Gemrenggeng regeng. Sedela sedela keselan swara ngguyu rame. Aku wis mlangkah metu, nalika pak mantri Hardjo,  ngandhani.
CERKAK ( 39 )
GUS  PANUT

Gus Panut bener-bener wong kabur kanginan, bebasan kemul mega kandhang langit. Yen ditakoni saka ngendi asal-usule, pawongan kang nya­lawadi iku mung mesem sepa lan gedheg-gedheg alon tanpa ukara. Senengane mlaku saparan-paran, nuruti obahe sikil lan krenteging ati. Yen turu saenggon-enggon, mangane uga saketemune. Urip iki kanggo dheweke mung kaya barang kentir kang kanyut irama iline kali banjir.
gus-panut-1Umur-umurane watara patang puluh­an taun, nanging praupane katon luwih  tuwa banget. Pawakane cilik dhuwur ngi­yeyet nggeger wungsu. Ulate anyep nje­jet tanpa greget. Nanging sorot mripate tajem kaya kuwawa nembus kahanan jagad liya. Rambute dawa ikel-ikel, bre­ngo­se kandel, duwe godheg lan jenggot ketel sarwa kruwel-kruwel. Diumbar njembrung ora kopen. Sandhangane uga pating sradhul ora karu-karuwan padane. Kala-kala nganggo udheng-udhengan sorban amoh ngentra Begawan Abiyasa, mrana-mrene seneng ndlamak tanpa lambaran sikil. Sing ora keri, Gus Panut tansah  nggawa kampluk ireng mbladhus disampirne pundhak.
CERKAK ( 38 )
GEDHANG GEPOK...GEDHANG IJO

Tamat saka isi, Sudarmi bali menyang dhaerah asale sing wis wolung taunan ditinggalake. Awit sasuwene kuliyah ing kutha, Sudarmi sasat ora tau midak desane. Desa cilik, kepencil ing wewengkon pegunungan Kendheng. Mula nadyan dhe­weke asli desa kono rada gumun bareng meruhi bu guru kang mondhok ing omahe wong tuwane, kang prucat­prucut sajak ora nglegewa nalika kudu adus ing belik kang tanpa aling-aling. Kamangka Sudarmi dhewe saploke suwe neng paran malih dadi risi adus blak-blakan ngono iku.
gedhang-kepok-gedhang-ijo-1“Bu, njenengan niku dos pundi ta, wong enten Pak Yatno kok sajak penak ae namung ngagem ondherok,” panyaruwene Sudarmi.
“Wis biyasa Mbak, maune ya isin. Nek adus ndadak ngenteni sepi. Ning suwe-suwe dadi pakulinan,” tumanggape Ami­nah.
CERKAK ( 37 )
GUMLINDHING BANYUNE KALI

Ganti bengi arep mapan turu, atiku isih ngresula nggagas nasibku dina Pon wingi. Nyopir angkot sedina muput kelangan bensin satangki, ora entuk dhuwit, malah dhuwit selawe ewu ing dhompet dhadhal kanggo tombok. Bareng turu jebul aku ngimpi diwejang swargi bapak : Ngger, ing atase uripmu mung pas­pasan isih kober bebantu wong liya, iku kudu kok syukuri. Yen syukur bakale mujur, yen ngresula bakale cilaka. gumlindhing-banyune-kali-1Lakonana urip iku satitahe anut kodrate, aja digelak mundhak rusak, aja disengka mundhak rekasa, kareben gumlindhing kaya iline banyu kali, wekasane mesthi bakal tekan segara.
Mak gragap, aku nglilir. Dak delok wis jam telu bangun. Enggal wae aku shalat Tahajud, nyuwun ngapura marang Allah dene wingi aku ngresula ora oleh dhuwit, mangka kudune malah syukur bisa mbantu bu Sulastri sing lagi mulih haji. Dak terus­ake shalat Subuh, nuli ndonga.
CERKAK ( 36 )
GLEPUNG TEKEK

Salim wis kondhang wong jujur lan lurus. Upama ana piranti kanggo ngukur kejujuran, banjur dianakake lomba kejujuran sadonya, ya Salim iku juarane. Saking jujure nganti dheweke percaya wae nalika Dogong ngandhani.
glepung-tekek-1“Lim, nek kowe pengin ngerteni nasib­mu bakal mlarat apa sugih, takona ma­rang tekek”.
“Carane piye Gong?” takone nggenah­ake.
“Nek ana tekek muni, tekeek-tekeek-tekeek … kowe muni, sugih-mlarat-sugih-mlarat, nganti tekek mandheg. Yen buri dhewe tiba sugih, ateges kowe bakal sugih merga entuk pamujine tekek”.
“Lha nek tiba mlarat?” takone Salim
“Ya ateges kowe bakal mlarat-arat-arat sajege, awit entuk sabdane tekek. Ning tindakna apese ping pitu.”
CERKAK ( 35 )
WONG LANANG PIYE...?

Rasa kuwatirku mung siji samangsa ana tamu. Aja-aja tamuku mau banjur kepengin menyang mburi aliyas be­bu­wang! Embuh pipis apa ek-ek. Wis bola-bali anggonku njaluk Mas Hadi supaya jedhing lan WC mburi kae enggal diwenehi payon. Wong sisa kayu lan pring tilas gawe omah kae ya isih. Mes­-thine kena kanggo empyak setangkep. Mas Hadi panggah semaya sesuk-sesuk.
wong-lanang-piye-1Aku nganti isin yen dilokne kancaku jare gawe omah magrong-magrong ae isa, yagene gawe jedhing WC wae ora genep. Kurang empyak, mung tembok ngothak. Yen udan ya kudanan, semono uga yen panas ya kepanasen. Ana maneh kancaku sing alok, jare apa ora eman kulitku sing mrusuh iki yen nganti nalika adus terus kudanan. Utawa yen wayah awan mlebu jedhing terus kepanasen. Ora ngecap pancen kulit lan rupaku, jare kanca lan tanggaku, klebu lumayan.
CERKAK ( 34 )
BOTOL PLASTIK

Wis seger ya, ngono sapaku ma­rang prawan setengah tuwa, bintang si­ne­tron, sawise dheweke adus. Aku pan­cen nunggoni aneng kono. Nyawang olehe reresik awak. Wiwit sikatan, kramas, sa­bun­an, nggebyur lan babar pisan umbah-umbah panganggo jerone. Prawan iku ora nggape, malah rengeng-rengeng lagu­ne Didi Kempot. Awake katon weweg. Bubar adus krasa bingar, seger. Pancen sedina kuwi hawane krasa panas, sumuk. Dheweke ora wangsulan. Pancen sajake ora krungu panyapaku.

botol-plastik-1Sedina iki mau dheweke lagi prei, ora ana jadwal syuting. Wingi-wingi meh saben dina lunga, kadhang tekan bengi. Dadi bin­tang sinetron seri lan disiarake ana tele­visi saben dina. Istilahe kejar tayang. Pan­cen ya kesel temenan. Nanging asile lu­ma­yan. Sebab nadyan durung rong taun di­kontrak dadi peran pembantu, saiki dhe­weke wis duwe sepedha-motor anyar. Sandhangane uga tambah akeh lan apik-apik modhele. Senadyan umure wis ngan­cik telungpuluh telu, nanging katon isih luwih enom. Awit awake kerumat.
CERKAK ( 33 )
SEPURE WIS MANGKAT

Aku nyawang arloji, jam 10 kurang limang menit. Saka speakere stasiun Tawang, Semarang keprungu lamat-lamat lagune Sony Jozh.  Ora rinasa eluhku tumetes. Tembang kang mentas tak rungu mau  malah njejuwing rasa pangrasaku. Kaya lagi nyemoni apa kang tak lakoni saksuwene iki. Gawang-gawang  ing mripatku lelakon seminggu kepungkur  ing stasiun iki ya ing kursi kang saiki tak lungguhi. Lelakon kang  njalari ati kang sasuwene aku bebojowan mati dadi urip maneh.

sepure-wis-mangkat-1Anggonku bebojowan cukup suwe nanging durung kaparingan momongan. Sepining batinku saya ngambar-ambra awit saploke ningkahan arang kadhing kumpul bojo merga dipisahake dening jarak. Aku nyambutgawe ing pamulangan luhur negri ing Semarang dene bojoku ngasta ana perguruan tinggi ing Bandung.  Satemene ora kurang-kurang anggonku mbudidaya amrih bisa nyawiji karo bojoku nanging engga seprene durung bisa kaleksanan.
CERKAK ( 32 )
TOBONG  KOBONG

Ya senajan awake dhewe iku mung pelaku seni lan dudu ahli sejarah, nanging ora ana alane yen melu oncek-oncek crita rakyat utawa legendha lokal marang para penonton, luwih-luwih marang para generasi mudha. Pamrihe supaya bangsa iki ora kelangan lacak ngenani piwulang luhur kang sumimpen ana lumakuning sejarah bangsane,” Kasman sing esuk kuwi lungguh sila dikupeng dening anak buwahe ana sandhuwure klasa ing tengah panggung, mbukak gunem.

tobong-kobong-1“Wah, yen ngoten niku sok-sok lakune crita saged nyimpang saking sing empun umum dipentaske grup sanes no Dhe,” Parto Gecul sing kerep kedhapuk dadi prajurit dhupakan cluluk semu maido karo nylonjorake sikil. Warsini Emban sing lungguh ana sandhinge mingset rada ngadoh, merga apal karo klageyane kancane kuwi yen dhong omongan. Ora cukup mung lambene wae sing obah nanging uga tangane melu-melu sraweyan kanggo nguwatake ekspresi utawa emosine.

CERKAK ( 31 )
BREKAT  MEGENGAN

Rasane kaya ora kanten ngenteni tekane dina Minggu. Tansah gumawang ing angen-angene Anto kandhane bapake dhek kapan kae.
”Insya Allah, suk tanggal patlikur ngarep iki ngepasi dina Minggu awake dhewe mulih kampung, Le. Tilik Mbah Wedok karo nyekar neng makame Mbah Lanang.Wis suwe Bapak ra nyekar,” ngono kandhane bapake.
brekat-megengan-1Ya wiwit dijanjeni iku Anto terus ngarep-arep tekane dina Minggu tanggal 24 Juli. Anto pancen wis kangen marang simbahe wedok kang urip ijen ing ndesa. Dene simbahe lanang wis tinggal donya nalika Anto lagi kelas nol besar. Saking lawase ora diajak tilik, nganti Anto ora bisa nggambarake kepriye rupane si­mbahe wedok ing wektu saiki. Mesthine ya wis tambah tuwa.
CERKAK ( 30 )
DHUWIT  DHENGKULKU

Saploke kedadeyan sawetara sasi kepungkur, gemerah karo sing lanang perkara sms njaluk kiriman pulsa kanthi nyeluk “papa – mama” kae, Marpuah jian ngati-ati tenan anggone nyikapi kahan­an. Witekna ora piye, esuk, awan, sore malah bar Magrib barang hapene sing lanang klebon sms saka “mamae” sing tundhone mung njaluk pulsa. Perkara regane pulsa ora apa-apa, bareng lek nye­luk kanthi sebutan mesra “papa” wadon sapa ora kobong ondheroke? Meh selawe taun mbangun bebrayan nganti duwe anak telu, putu loro, durung tau nyeluk mama-papa. Paling banter tekan “mas” ngono wae yen dhong neng ngarepe wong akeh.
dhuwit-dhengkulmu-1Biyasane ya cukup “pakmu-mbok­mu”. Malah, Diman, wong lanang se­tengah abad kuwi luwih kerep ngundang “ninek” marang Marpuah sing sejatine lagi umur ngancik 45-an kuwi.
CERKAK ( 29 )
LEGAN GOLEK MOMONGAN

Byuh-byuh, nek ngene carane njur kapan deadline-ku rampung? Tugas kantor sing kudune  dina iki beres malah ambyar kabeh,” panggrundele Andi jroing batin. “Yen ora nganggo nganalisis mono bisa rada cepet. Lha iki garapan sing nganggo petungan njlimet je.”

legan-golek-momongan-1Kawit esuk ana wae golongan 45 sing nyelani dheweke. Golongan 45 iku pa­raban kanggo sawatara pegawe ing kan­tore. Yakuwi karyawan kang wis ora duwe wektu maneh kanggo nyinaoni teknologi sing saya maju. Yuswane golongan 45 iki watara 47 munggah, nanging umume bingung nggunakake komputer.
CERKAK ( 28 )
WEWADI JRONING KOPER

Wiwit ana kethoprak tobong sing beber ana lapangan sisih kidul desane, Warti anake Pak Lurah Suradimejo mundhak sregep dandan. Dhasar ayu lencir kuning, se­kolahe dhuwur lan kasil ngregem  gelar sarjana. Isih kawimbuhan putrane wong sugih sing kesampiran panguwasa, mula ora mokal yen dadi kembange desa, dadi kekidungane para priya.
wewadi-jroning-koper-1Rombongan kethoprak mau jenenge “Ngesthi Budaya”. Jare saka Jawa Timur. Pemaine isih enom-enom cakrak lan bagus-bagus. Nganti Warti kesengsem karo pemain rol priya sing jeneng Dar­manto. Wonge bagus, dadi peran apa wae bisa tur ya menjiwai. Mangka kostum lan peralatane uga lengkap.
Anak panggung mau, yen awan padha dolan neng omahe warga Pandhansari kono, klebu Darmanto sing banjur akrab karo Warti. Darmanto sing grapyak se­manak, wasis micara kaya dong ana pang­gung ndadekake Warti meneng-meneng kayungyun.
CERKAK ( 27 )
DURUNG TITI WANCINE

Mbak Mar, ayo cepetan! swarane adhiku saka jaba sinambi mlayu mlebu.
Aku mrepegi adhiku sing lagi kelas lima SD kuwi. Yen wis ngono biyasane njuk nglendhot ana gendhonganku. Bocah siji iki pancen ngalem karo mbakyune, yen lagi karo ibune malah ra tau njaluk gendhong. Sajak bungah tenan yen lagi karo aku, nganti mau esuk wae luwih milih melu aku tinimbang melu bapak ibu menyang daleme simbah ing Salatiga.
durung-tiba-titi-wancine-1“Mbak Mar tak nata buku iqra’ riyin nggih. Nek kesusu Iva mantuk riyin ma­won,” ujarku.
“Tenan, Mbak? Aku mantuke bareng Dika karo Ratri ya, mbak!”
CERKAK ( 26 )
KATRESNAN LINGSIR SORE

Betheke Wimbadi bener. Nalika dheweke manyuk regol, njomblak kaget meruhi latar bank BTPN sing jembar kuwi wis kebak sepedha motor lan mobil. Wimbadi kangelan arep nyeleh sepedha motore. Tujune juru parkir enggal mrenahake.
Bubar markir sepedha montore gage-gage ngener loket saperlu antri keplek.
katresnan-lingsir-sore-1Oleh nomer 467! Edian! Njur iki mengko jam pira tekan gilirane. Arepa teller-e ana papat, yen sing diladeni samono akehe rak panggah mbutuhake wektu suwe!
Wimbadi ndeleng arlojine. Lagi jam 08.45. Isih esuk. Pancen budhale saka ngomah mau lagi jam 07.15. Ning kok antriane wis tekan nomer 400 punjul. Njur wong-wong kuwi mau lho, olehe antri keplek wiwit jam pira?
CERKAK ( 25 )
ORA  KAGODHA

Anggóné  nyambút   gawé dadi tukang bécak wís suwé bangêt, wiwít mantèn anyar nganti nduwé anak papat. Isíh diayahi kanthi råså tanggúng jawab sartå ora nduwèni råså aras-arasên babar pisan. Kanggoné Durasím, kêndharaan rodhå têlu kuwi wís dianggêp kåyå déné sawah síng wulu pamêtuné kanggo ngu­ripi anak bojo mbên dinané. Satêmêné biyèn tau bantíng stír bakulan pitík  síng ora patiyå rêkåså. Níng jêbúl malah kêrêp rugi. Mbók mênåwå waé pancèn wís ditak­díraké déníng síng ngêcèt lómbók mê­nåwå garís uripé  kadidéné tukang mancal bécak.
ora-kagodha-1Dinå kuwi isíh jam sêpuluhan nangíng  panasé wís kråså sumêlèt. Karo mêthang­króng nèng ndhuwúr bécaké, bola-bali Durasím ngêlapi rainé síng gêmróbyós nganggo andhúk cilík kang dikalungaké gulu. Durasím ajêg mangkal nèng pra­patan ringín kêmbar.